Jumat, 19 Februari 2010

Pendidikan Agama Hindu

Etika Pendidikan Agama Hindu Dalam Naskah Silakrama Print E-mail

Etika Pendidikan Agama Hindu
Dalam Naskah Silakrama

Oleh : I Ketut Subagiasta IHDN Denpasar

I. Pendahuluan
Silakrama merupakan salah satu naskah tradisional Bali yang isinya menguraikan tentang peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan pendidikan agama Hindu. Naskah ini telah didokumentasikan oleh Gedong Kirtya Singaraja yang jumlah naskahnya terdiri atas H lembar dengan nomor II b. 260/ 4. Selain itu juga sudah juga didokumentasikan di perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar yang jumlahnya 22 lembar dengan nomor kodenya 22. Masih ada lagi sumber naskah Silakrama yang didokumentasikan di perpustakaan Fakultas Sastra Unud Denpasar, yakni Siwasasana, Silakrama, Wratisasana dengan jumlah naskahnya sebanyak 56 lembar dengan kode 755, kemudian juga ada Silakrama Wratiscisana yang jumlah naskahnya 31 lembar dengan kode 57, dan satu lagi naskah Silakrama, Wratisasana Brahmoktawidhisastra yang jumlah naskahnya 48 lembar dengan kode 770. Masih ada lagi pendokumentasian lainnya terhadap naskah Silakrama yakni di perpustakaan Kantor Pusdok Pemda Bali, di perpustakaan kampus UNHI Denpasar, di perpustakaan kampus IHDN Denpasar, dan lain-lainnya.

Dalam paparan disini akan dijelaskan mengenai “etika pendidikan Agama Hindu” yang bersumber pada naskah Silakrama sebagaimana telah ditulis oleh Ida Bagus Punyatmadja yang awalnya dikeluarkan oleh Parisada Hindu Dharma Pusat pada tahun 1976, kemudian belakangan diterbitkan kembali oleh percetakan “Upada Sastra Denpasar” pada tahun 1992. Mengapa riaskah ini diangkat kembali sebagai suatu kajian penting? Oleh karena sumber ini sangat tepa 1an patut dijadikan pedoman oleh para pengelola kependidikan agama Hindu untuk mencapai sasaran/tujuan yang optimal dalam menyelenggarakan pendidikan agama Hindu pada institusi maupun lembaga pendidikan agama Hindu yang dikelolanya. Selain itu bahwa naskah ini sangat kaya dengan norma, aturan, maupun materi etika pendidikan agama Hindu, yang seharusnya selalu dijadikan pedoman utama dalam mewujudkan cita-cita dalam pendidikan agama Hindu yakni terbentuknya manusia Hindu yang sujana, manusia Hindu yang suputra, suputri, dan sadhu gunawan.

Apa makna yang terkandung dan istilah ‘etika pendidikan agama Hindu’ itu? Dalam paparan sederhana ini akan dicoba dijelaskan secara semantik mengenai ‘etika’, ‘pendidikan’, ‘agama’, dan kata ‘Hindu’ tersebut. ‘Etika’ adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (sraddha) (Tim Penyusun, 1994:271). Pendidikan adaIah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses perbuatan; cara mendidik. Agama adalah sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan (dewa dan sebagainya) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kep ercayaan itu. Sedangkan Hindu artinya agama yang berkitab suci Weda; kebudayaan yang berdasarkan agama Hindu. Kata agama dalam arti ini lebih tepat diartikan agama yang berkitab suci Weda. Kalau dalam arti yang lazim digunakan bahwa agama berarti sesuatu yang kekal abadi atau langgeng, yang juga sering diistilahkan dengan istilah sanatana dharma. Sedangkan kata Silakrama (dan bahasa Sansekerta) terdiri atas dua kata yakni sila artinya tingkah laku, krama artinya cara, peraturan), peraturan tingkah laku (Tim Penyusun, 2002; 104). Menyimak makna dan istilah yang telah dijelaskan sesuai makna dalam ‘kamus besar bahasa Indonesia’ dan ‘kamus istilah agama Hindu’ di atas, maka ‘etika pendidikan agama Hindu’ dapat diartikan suatu proses dan sistem untuk mendewasakan umat manusia khususnya umat Hindu menuju kepada kondisi kebaikan dengan dasar ajaran pokok adalah ajaran agama Hindu yang bersumber pada naskah Silakrama. Jadi penekanan kata ‘etika’ disini adalah bagaimana hal yang buruk dapat menuju pada kebaikan, kemuliaan, kebenaran, keutamaan, dan yang sejenisnya dalam kaitannya dengan pengelolaan kependidikan agama Hindu di Indonesia.

II. Pembahasan Etika Pendidikan Agama Hindu Dalam Naskah Silakrama
Bila disimak isi naskah Silakrama, bahwa ada banyak aturan yang diuraikan dalam naskah tersebut. Peraturan dimaksud sangat tepat dan penting untuk dipahami oleh semua lapisan umat Hindu, terlebih lagi yang terlibat langsung sebagai praktisi dalam menangani di bidang kependidikan agama Hindu. Tidak hanya itu saja bahwa isi naskah Silakrama itu juga sangat relevan bagi segenap umat Hindu yang ingin menekuni berbagai ajaran agama Hindu, baik yang terkandung dalam pustaka suci Veda maupun susastra Hindu lainnya. Untuk ke arah hal tersebut, terutama bagi yang ingin menekuni ajaran spiritual agama Hindu, maka ada baiknya mengenal etika atau peraturan yang diwejangkan dalam naskah Silakrama dapat dipahami terlebih dahulu sebelum sampai kepada materi inti ajaran agama Hindu. Hal inilah yang mendasari bahwa dalam belajar materi agama Hindu, sebelumnya hendaknya diawali dengan memahami secara komprehensif mengenai etikanya sesuai yang tersurat dalam naskah Silakrama.

Secara sederhana dapat dirinci bahwa aturan-aturan yang termuat dalam naskah Silakrama sesuai yang telah dipaparkan oleh IB Oka Punyatmadja yang naskah aslihnya dan bab ke bab menggunakan bahasa jawa kuna (Kawi) dengan beberapa penjelasan ke dalam bahasa Indonesia, antara lain
1) Catur Asrama,
2) Catur Varna,
3) Caturpurusastha,
4) Gurubhakti,
5) Yamabrata,
6) Niyamabrata, dan
7) Guru dan Sisya. Selanjutnya dapat disimak inti uraiannya berikut ini.

1) Catur Asrama
Mengenai caturasrama dalam naskah Silakrama dijelaskan berikut ini.
“Caturasrama ngaranya brahmacari, grhastha, wanaprastha, bhiksuka. Nahantang caturasrama ngaranya” artinya yang bernama caturasrama, ialah brahmacari, grhastha, wanaprastha, bhiksuka Demikianlah yang bernama caturasrama (Punyatmaja , 2002:10-11). Jadi Caturasrama adalah empat tingkatan

hidup manusia, antara lain : brahmacari yaitu masa menuntut ilmu pengetahuan dan tehnologi, grhastha yaitu masa membina rumah tangga atau hidup bersuami-istri, wanaprastha yaitu masa mengasingkan diri ke hutan dengan membuat pertapaan untuk menekuni ilmu kerohanian dengan melakukan pancakarma (lima macam perawatan) atau istilah lainnya pancayajna (lima persembahan) , dan bhiksuka adalah meninggalkan ikatan duniawi dengan jalan meminta-minta sebagai ciri khasnya (sanyasin).

Bagaimana relevansinya ajaran caturasrama ini dalam era pendidikan modern? Tentu sangat relevan sekali, oleh karena sang pelajar dituntut disiplin dalam menimba segala pengetahuan. Jika, tidak, maka gagallah pelajar itu untuk meraih cita-citanya. Tidak hanya itu sang pelajar juga dituntut disiplin dalam percintaan. Semasa belajar dilarang untuk melakukan hubungan sex (suklabrahmacan). Jadi intinya bahwa pada masa belajar hanya aturan aguron-guron yang wajib ditaati. Sedangkan yang lainnya dikesampingkan, tujuannya agar tercapai kemantapan ilmu kerohanian dan ilmu lainnya sesuai yang diarahkan dalam masa belajar.

2) CaturVarna
Berkenaan dengan catur varna kaitannya dengan caturasrama dijelaskan “aguron-guron atau brahmacari (hidup menuntut ilmu dan memupuk pribadi yang berkerohanian tinggi) menjadi faktor yang pertama mempunyai hubungan juga dengan sistim kemasyarakatan Hindu yang telah umum diketahui yaltu sistem catur varna atau catur janma” (Punyatmadja, 2002:12). Hal ini maksudnya adalah antara sang pelajar dengan tatanan kemasyarakatan Hindu agar terjadi bersinergi secara positif. Disadari bahwa pelajar mendapat pengetahuan bukan saja di bangku kuliah atau di bangku sekolah, tetapi juga banyak didapátkan di tengah-tengah masyarakat Hindu atau masyarakat pada umumnya.

Apalagi kondisi terakhir ini ada diterapkan sistem kompetensi, penerapan pembelajaran dengan pola praktek kerja lapangan (PKL), ada kuliah keija lapangan (KKL), ada kuliah kerja nyata (KKN), ada praktek keterampilan mengajar (PKM), ada kegiatan kerja sosial (kersos), ada program, studi kasus (case study), dan sebagainya yang memerlukan medan langsung ke lapangan di tengah-tengah masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat akan didapatkan pengetahuan agama/pengetahuan kerohanian dan para pandita/orang suci/para intelektual Hindu (brahmana). Juga didapatkan pengetahuan untuk berjiwa pemberani dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi selama belajar (ksatrya) yang pada akhirnya diperoleh solusi terbaik dan teori dalam belajar di sekolah dengan pengalaman lapangan di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara proporsional. Dalam masyarakat juga pengalaman langsung mengenai cara berekonomi yang dinamis serta positif sebagai pengalaman anyar bagi pelajar, yang sekaligus sebagai tambahan pengetahuan baginya (wesya). Selain itu juga terdapat banyak wawasan yang tersimpan di dalam gudang masyarakat yaitu ilmu pengetahuan, ilmu perikanan, ilmu kerja buruh, ilmu perkebunan, ilmu pelayaran, dan yang lainnya sebagai keija utama para warga masyarakat yang juga sebagai pengalaman positif bagi pelajar jika telah terjun di dalamnya (sudra), sehingga pelajar itu lengkaplah wawasan keilmuwannya di antara teori dan prakteknya. WHD No. 477 Oktober 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar