Jumat, 19 Februari 2010

perkembangan agama hindu diindonesia

KumpulBlogger.com

Kamis, 01 Januari 2009

Proses masuknya agama Hindu di Indonesia

Ada beberapa teori tentang masuknya agama hindu di indonesia:

1.Teori brahmana
Di kemukakan oleh Van Leur menurutnya agama hindu di bawa oleh para brahmana atau para pendeta ke indonesia ia berpendapat seperti itu karena para brahmana lah yang mengetahui kitab weda

2.Teori ksatria
Dikemukan oleh Majundar, Moekrji dan Nehru, mereka mengatakan bahwa agama hindu di bawa oleh para prajurit India yang ingin menaklukan Indonesia lalu menyebarkan agama hindu

3.Teori waisya
Di kemukakan okeh Krom , menurutnya agama hindu masuk ke Indonesia di bawa oleh para pedagang atau golongan waisya, Buktinya banyak pedagang dari India yang berdagang di indonesia lalu mereka menyebarkan agama hindu di indonesia

4.Teori sudra
Agama hindu di bawa oleh para budak atau golongan sudra, mereka menyebarkan agama hindu karena ingin merubah nasib mereka

5.Teori arus balik
bangsa indonesia belajar agama hindu di india lalu menyebarkan

sejarah hindu

Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
History of Indonesia.png
Sejarah Nusantara
Pra-Kolonial (sebelum 1602)
Pra-sejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Islam
Zaman kolonial (1602-1945)
Era Portugis
Era VOC
Era Belanda
Era Jepang (1942-1945)
Sejarah Republik Indonesia
Proklamasi (17 Agustus 1945)
Masa Transisi
Era Orde Lama
Demokrasi Terpimpin
Operasi Trikora (1960-1962)
Konfrontasi Indo-Malaya (1962-1965)
Gerakan 30 September 1965
Era Orde Baru
Gerakan Mahasiswa 1998
Era Reformasi
[Sunting]

Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.

Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Budha, yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16.

Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.

Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang tangguh dan ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatera dan Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era ini.

Tuntunan Dasar Agama Hindu

Dewa Yadnya

Upacara Dewa Yadnya adalah pemujaan atau persembahan sebagai perwujudan bakti kepada Hyang Widhi dalam berbagai manifestasinya, yang diwujudkan dalam bermacam-macam bentuk upakara. Bakti, bertujuan untuk mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi terhadap hamba-Nya dan mohon Kasih-Nya agar kita mendapatkan berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga kita dapat hidup dengan selamat.


Pengantar: Upacara Yadnya

Yadnya menurut ajaran agama Hindu, merupakan satu bentuk kewajiban yang harus dilakukan oleh umat manusia di dalam kehidupannya sehari-hari. Sebab Tuhan menciptakan manusia beserta makhluk hidup lainnya berdasarkan atas yadnya, maka hendaklah manusia memelihara dan mengembangkan dirinya, juga atas dasar yadnya sebagai jalan untuk memperbaiki dan mengabdikan diri kepada Sang Pencipta yakni Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).


Çubha dan Açubha Karma

Pada dasarnya sesuai dengan siklus rwabhineda, perbuatan itu terjadi dari dua sisi yang berbeda, yaitu perbuatan baik dan perbuatan yang tidak baik. Perbuatan baik ini disebut dengan Cubha Karma, sedangkan perbuatan yang tidak baik disebut dengan Acubha Karma. Siklus cubha dan acubhakarma ini selalu saling berhubungan satu sama lain dan tidak dipisahkan.


Pokok-Pokok Keimanan Agama Hindu (5)

Dalam Weda disebutkan: "Moksartham Jagadhitaya ca itu dharma", maka Moksa merupakan tujuan yang tertinggi. Moksa ialah kebebasan dari keterikatan benda-benda yang bersifat duniawi dan terlepasnya Atman danri pengaruh maya serta bersatu kembali dengan sumber-Nya, yaitu Brahman (Hyang Widhi) dan mencapai kebenaran tertinggi, mengalami kesadaran dan kebahagiaan yang kekal abadi yang disebut Sat Cit Ananda.


Pokok-Pokok Keimanan Agama Hindu (4)

Punarbhawa berarti kelahiran yang berulang-ulang, yang disebut juga penitisan kembali (reinkarnasi) atau Samsara. Di dalam Weda disebutkan bahwa "Penjelmaan jiwatman yang berulang-ulang di dunia ini atau didunia yang lebih tinggi disebut Samsara. Kelahiran yang berulang-ulang ini membawa akibat suka dan duka. Samsara atau Punarbhawa ini terjadi oleh karena Jiwatman masih dipengaruhi oleh kenikmatan, dan kematian akan diikuti oleh kelahiran".


Pokok-Pokok Keimanan Agama Hindu (3)

Segala gerak atau aktivitas yang dilakukan, disengaja atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah, disadari atau diluar kesadaran, kesemuanya itu disebut "Karma". Ditinjau dari segi ethimologinya, kata karma berasal dari kata "Kr" (bahasa sansekerta), yang artinya bergerak atau berbuat. Menurut Hukum Sebab Akibat, maka segala sebab pasti akan membuat akibat. Demikianlah sebab dari suatu gerak atau perbuatan akan menimbulkan akibat, buah, hasil atau pahala. Hukum sebab akibat inilah yang disebut dengan Hukum Karma Phala.


Pokok-Pokok Keimanan Agama Hindu (2)

Atman adalah percikan kecil dari Paramatman (Hyang Widhi/Brahman). Atman di dalam badan manusia disebut Jiwatman, yang menyebabkan manusia itu hidup. Atman dengan badan adalah laksana kusir dengan kereta. Kusir adalah Atman yang mengemudikan dan kreta adalah badan. Demikian Atman itu menghidupi sarva prani (mahluk) di alam semesta ini.


Pokok-Pokok Keimanan Agama Hindu (1)

Sesungguhnya, setiap agama yang ada dan berkembang dimuka bumi ini, bertitik tolak kepada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Banyak hal yang mendorong kita harus percaya terhadap adanya Tuhan itu dan berlaku secara alami. Adanya gejala atau kejadian dan keajaiban di dunia ini, menyebabkan kepercayaan itu semakin mantap. Semuanya itu pasti ada sebab- musababnya, dan muara yang terakhir adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhanlah yang mengatur semuanya ini, Tuhan pula sebagai penyebab pertama segala yang ada.


Weda Sumber Ajaran Agama Hindu

Sumber ajaran agama Hindu adalah Kitab Suci Weda, yaitu kitab yang berisikan ajaran kesucian yang diwahyukan oleh Hyang Widhi Wasa melalui para Maha Rsi. Weda merupakan jiwa yang meresapi seluruh ajaran Hindu, laksana sumber air yang mengalir terus melalui sungai-sungai yang amat panjang dalam sepanjang abad. Weda adalah sabda suci atau wahyu Tuhan Yang Maha Esa.


Pengertian dan Tujuan Agama Hindu

Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah "Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharma", yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan hidup manusia, yakni Dharma, Artha, Kama dam Moksa.

PURA BUKIT DHARMA DI KUTRI, MASUKNYA BUDAYA HINDU KE BALI

PURA BUKIT DHARMA DI KUTRI, MASUKNYA BUDAYA HINDU KE BALI
Posted by Ketut Wiana on 2006-11-02 [ print artikel ini | beritahu teman | dilihat 1671 kali ]Pada waktu Raja Udayana memerintah di Bali sekitar abad X Masehi, masuknya budaya Hindu ke Bali mulai agak deras sampai pada zaman Majapahit sebagai puncaknya. Pura Bukit Dharma di Kutri, Desa Buruan, Blahbatuh ini sebagai salah satu buktinya. Pura Bukit Dharma hasil budaya Hindu purbakala ini dapat dijadikan salah satu sumber untuk menelusuri proses pengaruh Hindu dari Jawa ke Bali. Seperti apakah sejarah Pura Bukit Dharma di Kutri itu?

=====================================================

Gunapriya Dharma Patni yang roh sucinya (Dewa Pitara) distanakan di pura ini berasal dari Jawa Timur. Permaisuri Raja Udayana ini sangat besar pengaruhnya pada sang Raja sehingga namanya selalu disebutkan di depan nama Raja Udayana. Pelinggih utama pura ini juga disebut Gedong Pajenengan, tempat distanakan arca Durga Mahisasura Mardini. Upacara piodalan di pura ini setiap purnama sasih Kasa bersamaan dengan pujawali di Pura Semeru Agung di Lumajang, Jawa Timur.

Pura ini letaknya di puncak Bukit Kutri, Desa Buruan. Di areal bawah pura ini terdapat dua buah pura lagi. Pura yang paling bawah di pinggir jalan menuju kota Gianyar adalah Pura Puseh Desa Adat Buruan. Di atasnya Pura Pedharman. Naik dari Pura Padharman inilah letak Pura Bukit Dharma atau Pura Durga Kutri. Yang menarik dari keberadaan pura ini adalah distanakannya permaisuri Raja sebagai Dewi Durga.

Sejak Raja berpermaisurikan putri dari Jawa Timur ini pengaruh kebudayaan Hindu dari Jawa sangat kuat masuk ke Bali. Tanpa proses tersebut mungkin kebudayaan Hindu di Bali tidak semarak dan kaya dengan nilai-nilai kehidupan yang adiluhung seperti sekarang ini. Fakta sejarah menyatakan bahwa budaya agama Hindu masuk ke Jawa dari India telah berhasil menjadikan Jawa sebagai Jawa yang ada nilai plusnya.

Dari Jawa budaya agama Hindu masuk ke Bali menyebabkan Bali menjadi Bali yang plus. Agama Hindu telah berhasil menjiwai budaya setempat. Dengan demikian agama Hindu dapat menghasilkan kebudayaan Bali yang adiluhung. Hal itu dimulai dari masuknya bahasa Jawa Kuno ke Bali. Dengan demikian bahasa dan kesusastraan Jawa Kuno sangat kuat pengaruhnya membentuk kebudayaan Bali seperti sekarang ini.

Ramayana, Mahabharata dan berbagai cerita dan tutur-tutur dalam bahasa Jawa Kuno masuk dengan kuat dan halus ke Bali. Derasnya bahasa Jawa Kuno masuk ke Bali nampaknya disebabkan kesusastraan Jawa Kuno itu muatannya adalah ajaran agama Hindu. Di lain pihak masyarakat Bali saat itu sudah memeluk agama Hindu yang saat itu disebut agama Tirtha atau agama Siwa Budha. Agama Tirtha tersebut sumber ajarannya adalah kitab suci Weda dan kitab-kitab susastranya. Seni budaya Hindu yang berbahasa Jawa Kuno demikian digemari oleh masyarakat Bali.

Sampai saat ini orang awam akan menganggap kesusastraan Jawa Kuno itu sudah kesusastraan Bali. Sejak itulah Bali mengenal adanya seni sastra dari Jawa Kuno seperti Sekar Alit, Sekar Madya dan Sekar Agung. Andaikata Raja Udayana saat itu bersikap kaku tidak membolehkan budaya luar masuk Bali, keadaan Bali dapat dibayangkan. Mungkin orang Bali tidak kenal geguritan, kidung maupun kekawin.

Geguritan memang berbahasa Bali pada umumnya, tetapi tembang-tembang seperti Semarandhana, Dhurma, Sinom, Ginanti, Megatruh dll. itu semuanya berasal dari kesusastraan Jawa Kuno atau sering disebut bahasa Kawi. Apalagi kekawin sepenuhnya adalah berbahasa Jawa Kuno. Lewat seni sastra Jawa Kuno inilah menjadi media untuk menanamkan ajaran agama Hindu melalui seni budaya. Dengan seni budaya itu umat Hindu di Bali dapat menyerap ajaran agama Hindu secara halus.

Derasnya pengaruh Hindu Jawa ke Bali sangat menonjol sejak zaman Raja Udayana memerintah Bali sampai zaman Kerajaan Majapahit berkuasa di Jawa sampai ke Bali. Keberadaan Gunapriya Dharma Patni itu dinyatakan dalam Prasasti Bebetin sbb: Aji Anak Wungsu nira kalih Bhatari lumahing Burwan Bhatara lumahing banyu weka.

Yang dimaksud Bhatari Lumahing Burwan tiada lain adalah ibunya Anak Wungsu yaitu Gunapriya Dharma Patni yang wafat dan distanakan roh sucinya di Burwan yaitu di Bukit Kutri, Desa Buruan. Prasasti ini berbahasa Jawa Kuno diperkirakan berada pada abad X Masehi. Seandainya Raja saat itu tidak berpikir luas dan melakukan proteksi pada kebudayaan asli Bali yang berlaku pada saat itu, mungkin di Bali kita tidak mengenal adanya Pesantian yang demikian marak sampai pada saat ini.

Keberadaan Arca Durga Mahisasura Mardini ini sangat erat kaitannya dengan cerita-cerita Purana dari India. Cerita ini memang sangat populer di kalangan umat Hindu di India dan di Bali. Diceritakan Dewi Parwati atau Dewi Uma berperang melawan raksasa. Raksasa itu sangatlah sakti dan sulit ditaklukkan. Karena itulah disebut Durga. Artinya sulit dicapai, karena raksasa itu sampai bisa bersembunyi di dalam tubuh seekor lembu atau Mahisa. Karena ada raksasa atau Asura di dalam tubuh lembu itu, maka ia disebut Mahisasura.

Dewi Parwati adalah Saktinya Dewa Siwa juga sangat sakti. Raksasa yang sulit ditaklukkan (Durga) itu karena kesaktian Dewi Parwati akhirnya dapat juga menaklukkan raksasa tersebut dengan pedangnya. Sejak dapat ditaklukannya Asura yang bersembunyi di tubuh Mahisa atau lembu itulah Dewi Parwati disebut Dewi Durga. Kemenangan Dewi Durga ini dirayakan setiap hari raya Dasara atau Wijaya Dasami sebagai hari raya Durgha Puja. Durgha Puja ini lebih menonjol di India Selatan.

Hari suci Wijaya Dasami umumnya dirayakan pada bulan April dan Oktober di India. Hari raya Wijaya Dasami juga merayakan kemenangan Sri Rama melawan Rahwana. Wijaya Dasami ini diperingati selama sepuluh hari. Seperti Galungan di Bali. Tiga hari melakukan Durga Puja, tiga hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga harinya lagi memuja Laksmi.

Pada hari kesepuluh barulah dirayakan dengan perayaan yang meriah. Pada hari kesepuluh ini dipuja Dewa Ganesia dan Dewi Laksmi. Ini melambangkan bahwa kemenangan itu adalah terwujudnya rasa aman dan sejahtera. Dewa Ganesia lambang pemujaan Tuhan untuk mencapai rasa aman. Sedangkan pemujaan Dewi Laksmi lambang kesejahteraan.

Senjata-senjata yang dipegang oleh tangan Arca Durga Kutri itu adalah lambang senjata spiritual. Bukan lambang senjata untuk membunuh badan jasmaniah secara kejam dalam perang duniawi. Senjata itu adalah lambang senjata spiritual untuk membasmi kegelapan hati nurani membangun kesadaran rohani menuju kehidupan yang cerah. * wiana

Sumber: BaliPost

Pendidikan Agama Hindu

Etika Pendidikan Agama Hindu Dalam Naskah Silakrama Print E-mail

Etika Pendidikan Agama Hindu
Dalam Naskah Silakrama

Oleh : I Ketut Subagiasta IHDN Denpasar

I. Pendahuluan
Silakrama merupakan salah satu naskah tradisional Bali yang isinya menguraikan tentang peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan pendidikan agama Hindu. Naskah ini telah didokumentasikan oleh Gedong Kirtya Singaraja yang jumlah naskahnya terdiri atas H lembar dengan nomor II b. 260/ 4. Selain itu juga sudah juga didokumentasikan di perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar yang jumlahnya 22 lembar dengan nomor kodenya 22. Masih ada lagi sumber naskah Silakrama yang didokumentasikan di perpustakaan Fakultas Sastra Unud Denpasar, yakni Siwasasana, Silakrama, Wratisasana dengan jumlah naskahnya sebanyak 56 lembar dengan kode 755, kemudian juga ada Silakrama Wratiscisana yang jumlah naskahnya 31 lembar dengan kode 57, dan satu lagi naskah Silakrama, Wratisasana Brahmoktawidhisastra yang jumlah naskahnya 48 lembar dengan kode 770. Masih ada lagi pendokumentasian lainnya terhadap naskah Silakrama yakni di perpustakaan Kantor Pusdok Pemda Bali, di perpustakaan kampus UNHI Denpasar, di perpustakaan kampus IHDN Denpasar, dan lain-lainnya.

Dalam paparan disini akan dijelaskan mengenai “etika pendidikan Agama Hindu” yang bersumber pada naskah Silakrama sebagaimana telah ditulis oleh Ida Bagus Punyatmadja yang awalnya dikeluarkan oleh Parisada Hindu Dharma Pusat pada tahun 1976, kemudian belakangan diterbitkan kembali oleh percetakan “Upada Sastra Denpasar” pada tahun 1992. Mengapa riaskah ini diangkat kembali sebagai suatu kajian penting? Oleh karena sumber ini sangat tepa 1an patut dijadikan pedoman oleh para pengelola kependidikan agama Hindu untuk mencapai sasaran/tujuan yang optimal dalam menyelenggarakan pendidikan agama Hindu pada institusi maupun lembaga pendidikan agama Hindu yang dikelolanya. Selain itu bahwa naskah ini sangat kaya dengan norma, aturan, maupun materi etika pendidikan agama Hindu, yang seharusnya selalu dijadikan pedoman utama dalam mewujudkan cita-cita dalam pendidikan agama Hindu yakni terbentuknya manusia Hindu yang sujana, manusia Hindu yang suputra, suputri, dan sadhu gunawan.

Apa makna yang terkandung dan istilah ‘etika pendidikan agama Hindu’ itu? Dalam paparan sederhana ini akan dicoba dijelaskan secara semantik mengenai ‘etika’, ‘pendidikan’, ‘agama’, dan kata ‘Hindu’ tersebut. ‘Etika’ adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (sraddha) (Tim Penyusun, 1994:271). Pendidikan adaIah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses perbuatan; cara mendidik. Agama adalah sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan (dewa dan sebagainya) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kep ercayaan itu. Sedangkan Hindu artinya agama yang berkitab suci Weda; kebudayaan yang berdasarkan agama Hindu. Kata agama dalam arti ini lebih tepat diartikan agama yang berkitab suci Weda. Kalau dalam arti yang lazim digunakan bahwa agama berarti sesuatu yang kekal abadi atau langgeng, yang juga sering diistilahkan dengan istilah sanatana dharma. Sedangkan kata Silakrama (dan bahasa Sansekerta) terdiri atas dua kata yakni sila artinya tingkah laku, krama artinya cara, peraturan), peraturan tingkah laku (Tim Penyusun, 2002; 104). Menyimak makna dan istilah yang telah dijelaskan sesuai makna dalam ‘kamus besar bahasa Indonesia’ dan ‘kamus istilah agama Hindu’ di atas, maka ‘etika pendidikan agama Hindu’ dapat diartikan suatu proses dan sistem untuk mendewasakan umat manusia khususnya umat Hindu menuju kepada kondisi kebaikan dengan dasar ajaran pokok adalah ajaran agama Hindu yang bersumber pada naskah Silakrama. Jadi penekanan kata ‘etika’ disini adalah bagaimana hal yang buruk dapat menuju pada kebaikan, kemuliaan, kebenaran, keutamaan, dan yang sejenisnya dalam kaitannya dengan pengelolaan kependidikan agama Hindu di Indonesia.

II. Pembahasan Etika Pendidikan Agama Hindu Dalam Naskah Silakrama
Bila disimak isi naskah Silakrama, bahwa ada banyak aturan yang diuraikan dalam naskah tersebut. Peraturan dimaksud sangat tepat dan penting untuk dipahami oleh semua lapisan umat Hindu, terlebih lagi yang terlibat langsung sebagai praktisi dalam menangani di bidang kependidikan agama Hindu. Tidak hanya itu saja bahwa isi naskah Silakrama itu juga sangat relevan bagi segenap umat Hindu yang ingin menekuni berbagai ajaran agama Hindu, baik yang terkandung dalam pustaka suci Veda maupun susastra Hindu lainnya. Untuk ke arah hal tersebut, terutama bagi yang ingin menekuni ajaran spiritual agama Hindu, maka ada baiknya mengenal etika atau peraturan yang diwejangkan dalam naskah Silakrama dapat dipahami terlebih dahulu sebelum sampai kepada materi inti ajaran agama Hindu. Hal inilah yang mendasari bahwa dalam belajar materi agama Hindu, sebelumnya hendaknya diawali dengan memahami secara komprehensif mengenai etikanya sesuai yang tersurat dalam naskah Silakrama.

Secara sederhana dapat dirinci bahwa aturan-aturan yang termuat dalam naskah Silakrama sesuai yang telah dipaparkan oleh IB Oka Punyatmadja yang naskah aslihnya dan bab ke bab menggunakan bahasa jawa kuna (Kawi) dengan beberapa penjelasan ke dalam bahasa Indonesia, antara lain
1) Catur Asrama,
2) Catur Varna,
3) Caturpurusastha,
4) Gurubhakti,
5) Yamabrata,
6) Niyamabrata, dan
7) Guru dan Sisya. Selanjutnya dapat disimak inti uraiannya berikut ini.

1) Catur Asrama
Mengenai caturasrama dalam naskah Silakrama dijelaskan berikut ini.
“Caturasrama ngaranya brahmacari, grhastha, wanaprastha, bhiksuka. Nahantang caturasrama ngaranya” artinya yang bernama caturasrama, ialah brahmacari, grhastha, wanaprastha, bhiksuka Demikianlah yang bernama caturasrama (Punyatmaja , 2002:10-11). Jadi Caturasrama adalah empat tingkatan

hidup manusia, antara lain : brahmacari yaitu masa menuntut ilmu pengetahuan dan tehnologi, grhastha yaitu masa membina rumah tangga atau hidup bersuami-istri, wanaprastha yaitu masa mengasingkan diri ke hutan dengan membuat pertapaan untuk menekuni ilmu kerohanian dengan melakukan pancakarma (lima macam perawatan) atau istilah lainnya pancayajna (lima persembahan) , dan bhiksuka adalah meninggalkan ikatan duniawi dengan jalan meminta-minta sebagai ciri khasnya (sanyasin).

Bagaimana relevansinya ajaran caturasrama ini dalam era pendidikan modern? Tentu sangat relevan sekali, oleh karena sang pelajar dituntut disiplin dalam menimba segala pengetahuan. Jika, tidak, maka gagallah pelajar itu untuk meraih cita-citanya. Tidak hanya itu sang pelajar juga dituntut disiplin dalam percintaan. Semasa belajar dilarang untuk melakukan hubungan sex (suklabrahmacan). Jadi intinya bahwa pada masa belajar hanya aturan aguron-guron yang wajib ditaati. Sedangkan yang lainnya dikesampingkan, tujuannya agar tercapai kemantapan ilmu kerohanian dan ilmu lainnya sesuai yang diarahkan dalam masa belajar.

2) CaturVarna
Berkenaan dengan catur varna kaitannya dengan caturasrama dijelaskan “aguron-guron atau brahmacari (hidup menuntut ilmu dan memupuk pribadi yang berkerohanian tinggi) menjadi faktor yang pertama mempunyai hubungan juga dengan sistim kemasyarakatan Hindu yang telah umum diketahui yaltu sistem catur varna atau catur janma” (Punyatmadja, 2002:12). Hal ini maksudnya adalah antara sang pelajar dengan tatanan kemasyarakatan Hindu agar terjadi bersinergi secara positif. Disadari bahwa pelajar mendapat pengetahuan bukan saja di bangku kuliah atau di bangku sekolah, tetapi juga banyak didapátkan di tengah-tengah masyarakat Hindu atau masyarakat pada umumnya.

Apalagi kondisi terakhir ini ada diterapkan sistem kompetensi, penerapan pembelajaran dengan pola praktek kerja lapangan (PKL), ada kuliah keija lapangan (KKL), ada kuliah kerja nyata (KKN), ada praktek keterampilan mengajar (PKM), ada kegiatan kerja sosial (kersos), ada program, studi kasus (case study), dan sebagainya yang memerlukan medan langsung ke lapangan di tengah-tengah masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat akan didapatkan pengetahuan agama/pengetahuan kerohanian dan para pandita/orang suci/para intelektual Hindu (brahmana). Juga didapatkan pengetahuan untuk berjiwa pemberani dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi selama belajar (ksatrya) yang pada akhirnya diperoleh solusi terbaik dan teori dalam belajar di sekolah dengan pengalaman lapangan di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara proporsional. Dalam masyarakat juga pengalaman langsung mengenai cara berekonomi yang dinamis serta positif sebagai pengalaman anyar bagi pelajar, yang sekaligus sebagai tambahan pengetahuan baginya (wesya). Selain itu juga terdapat banyak wawasan yang tersimpan di dalam gudang masyarakat yaitu ilmu pengetahuan, ilmu perikanan, ilmu kerja buruh, ilmu perkebunan, ilmu pelayaran, dan yang lainnya sebagai keija utama para warga masyarakat yang juga sebagai pengalaman positif bagi pelajar jika telah terjun di dalamnya (sudra), sehingga pelajar itu lengkaplah wawasan keilmuwannya di antara teori dan prakteknya. WHD No. 477 Oktober 2006.